Nama :Silmi
Izzati
NPM :26210546
Kelas :2EB08
NPM :26210546
Kelas :2EB08
- Masalah Hukum Ekonomi
Dalam kemajuan
teknologi handphone pada saat ini, telah menempatkan handphone sebagai
perangkat komunikasi yang sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh sebagian
besar masyarakat masa kini. Oleh karena itu, penjualan dan peredaran handphone
dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup besar. Salah satunya,
dapat dibuktikan dengan beberapa handphone yang dimiliki oleh sebagian besar
masyarakat (GSM dan CDMA).
Besarnya daya serap pasar terhadap handphone di Indonesia, telah memberikan banyak kesempatan bagi para distributor handphone untuk saling bersaing menyalurkan dan memasarkan handphone yang telah diproduksi oleh para produsen ke dalam pangsa pasar dalam negeri (masyarakat). Tentu saja, hal ini telah menciptakan suatu persaingan yang tinggi bagi para distributor handphone, sehingga beberapa pengusaha distributor yang tidak mampu bersaing secara “sehat”, melakukan pendistribusian handphone secara “illegal”, seperti mendistribusikan handphone-handphone dengan cara menghindari pajak. Cara ini, dapat memberikan “manfaat” bagi distributor dalam melakukan “penetrasi” pasar handphone ke dalam masyarakat dengan cepat, mudah dan murah, tanpa mengurangi “keuntungan” yang diperoleh oleh para distributor itu sendiri.
Secara umum, handphone “selundupan” atau yang dikenal oleh masyarakat sebagai handphone ”Black Market”, sangat berbeda dengan handphone “Resmi” atau disebut juga sebagai handphone “Legal”, karena, handphone “Black Market” pada hakikatnya merupakan handphone yang sengaja diselundupkan ke dalam negeri dengan cara menghindari sistem perpajakan Negara. Sedangkan handphone “Legal” merupakan handphone yang didistribusikan melalui distributor resmi yang memiliki kerja sama penjualan atau pasca penjualan dengan produsen handphone, serta telah memenuhi standar minimum yang telah ditentukan oleh Pemerintah.
Berbeda lagi dengan jenis handphone “Refurbished” yang merupakan handphone bekas yang diperbaiki dan diperbaharui, sehingga handphone tersebut, seolah-olah menjadi handphone baru dengan status “Black Market” atau handphone dengan status “Legal”.
Permasalahan di masyarakat lahir ketika, pembeli tidak mengetahui dan memahami, bahwa handphone yang dibeli merupakan handphone “Black Market” atau handphone “Legal”. Hal ini lebih diperparah dengan oknum penjual yang tidak memberikan penjelasan yang cukup terhadap para calon pembeli mengenai handphone “Black Market” handphone “Legal” atau handphone “Refurbished” yang akan dipilih oleh para calon pembeli.
Permasalahan di atas pernah dialami oleh banyak para pembeli hanphone, ketika membeli handphone Nokia 9300, Nokia 9300I, Nokia 6016 hingga Nokia XXXX. Handphone-handphone tersebut ternyata merupakan handphone “Black Market” dan beberapa diantaranya merupakan handphone “Refurbished”. Hal ini, diketahui setelah handphone tersebut mengalami kerusakan, yang kemudian dibawa ke service center handphone bersangkutan. Ternyata, service center dari produk handphone tersebut mengenakan “denda” pada pemilik handphone tersebut, dengan alasan handphone tersebut merupakan handphone “Black Market”.
Sebenarnya, untuk membedakan handphone “Black Market” yang beredar tidak terlalu sulit, karena pada umumnya, handphone- handphone “Black Market” memiliki karakteristik-karakteristik yang mudah dikenali secara umum. Seperti :
1. Nomor seri IMEI (International Mobile Equipment Identity), karena handphone ”Black Market” pada umumnya dikirimkan dengan tanpa kardus yang dicetak sesuai nomor IMEI masing-masing handphone. Selain itu, nomor IMEI pada umumnya dapat memberikan identitas Negara tujuan pendistribusian handphone.
Untuk mengetahui masing-masing nomor seri IMEI, maka kita dapat menekan *#06# (standar internasional GSM) dan *3001#12345# (standar internasional CDMA) yang diikuti dengan menekan tombol Ok. Nomor IMEI ini, terdiri atas sejumlah digit serial number yang unik, yang tidak sama antara handphone satu dengan handphone yang lainnya.
2. Layanan pasca penjualan (garansi), karena garansi merupakan jaminan dari pihak distributor kepada para konsumen mengenai kualitas handphone yang digunakan. Apabila handphone yang akan dibeli memiliki layanan garansi Principal. Seperti garansi Nokia, garansi Sony Ericson , atau garansi Samsung, maka handphone yang dijual merupakan handphone “Resmi” (Legal). Sedangkan apabila handphone yang akan dibeli memiliki layanan pasca penjualan (garansi) “Distributor” atau garansi “Toko”, maka handphone yang dijual merupakan handphone “Black Market” (Illegal).
Layanan pasca penjualan (garansi) yang ”Resmi”, secara fisik pada umumnya ditandai dengan stiker segel distributor resmi yang melekat pada handphone dan melekat pada dus-nya, seperti Nokia Indonesia dan LG Elektronik Indonesia. Selain itu, handphone- handphone “Black Market” pada umumnya memiliki dus handphone yang kurang baik dibandingkan dengan dus handphone “resmi”, selain buku panduan yang tidak ditulis ke dalam Bahasa Indonesia.
Perlu diketahui, bahwa sebenarnya kualitas handphone- handphone dengan status “Black Market” memiliki kualitas yang sama dengan handphone- handphone yang dipasarkan dengan status “Resmi”. Hanya saja, handphone dengan status “Black Market” dipasarkan dengan harga lebih “Murah” dengan “Resiko” tidak mendapatkan layanan pasca penjualan yang memuaskan ketika handphone yang dibeli mengalami permasalahan teknis (kerusakan).
Apabila meninjau hukum yang berlaku dari pandangan perlindungan konsumen terkait dengan status handphone “Black Market”, maka sebenarnya keberadaan handphone “Black Market”, telah berlawanan dengan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, karena pada hakikatnya konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa yang digunakannya (Pasal 4). Walaupun demikian, setiap konsumen harus memiliki itikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa, karena salah satu perlindungan konsumen, ditujukan untuk dapat mengangkat harkat dan martabat konsumen itu sendiri, dengan cara menghindarkannya dari dampak buruk dari pemakaian barang dan/atau jasa, selain menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen yang dapat menumbuhkan sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha (Pasal 2-3). Selaras dengan hal ini, , Pasal 7 telah menegaskan bahwa, “Penjual harus memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”.
Lebih jauh lagi, apabila kita meninjau peredaran handphone “Black Market” di masyarakat, maka peredaran handphone “Black Market” tidak hanya bertentangan dengan hukum yang terkait dengan perlindungan konsumen, karena apabila kita meninjau pada UU No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, khususnya Pasal 32, maka telah menjelaskan bahwa, perangkat telekomunikasi yang dibuat, dirakit, dimasukkan, diperdagangkan serta digunakan di dalam negeri, harus memenuhi persyaratan teknis dan izin yang ditentukan.
Terlepas dari keuntungan, kerugian dan peredaran handphone- handphone “Black Market” yang semakin meluas, maka yang terpenting ialah pengetahuan dan kesadaran yang cukup dalam memilih, membeli dan mempergunakan handphone yang sesuai dengan kebutuhan kita masing-masing.
Besarnya daya serap pasar terhadap handphone di Indonesia, telah memberikan banyak kesempatan bagi para distributor handphone untuk saling bersaing menyalurkan dan memasarkan handphone yang telah diproduksi oleh para produsen ke dalam pangsa pasar dalam negeri (masyarakat). Tentu saja, hal ini telah menciptakan suatu persaingan yang tinggi bagi para distributor handphone, sehingga beberapa pengusaha distributor yang tidak mampu bersaing secara “sehat”, melakukan pendistribusian handphone secara “illegal”, seperti mendistribusikan handphone-handphone dengan cara menghindari pajak. Cara ini, dapat memberikan “manfaat” bagi distributor dalam melakukan “penetrasi” pasar handphone ke dalam masyarakat dengan cepat, mudah dan murah, tanpa mengurangi “keuntungan” yang diperoleh oleh para distributor itu sendiri.
Secara umum, handphone “selundupan” atau yang dikenal oleh masyarakat sebagai handphone ”Black Market”, sangat berbeda dengan handphone “Resmi” atau disebut juga sebagai handphone “Legal”, karena, handphone “Black Market” pada hakikatnya merupakan handphone yang sengaja diselundupkan ke dalam negeri dengan cara menghindari sistem perpajakan Negara. Sedangkan handphone “Legal” merupakan handphone yang didistribusikan melalui distributor resmi yang memiliki kerja sama penjualan atau pasca penjualan dengan produsen handphone, serta telah memenuhi standar minimum yang telah ditentukan oleh Pemerintah.
Berbeda lagi dengan jenis handphone “Refurbished” yang merupakan handphone bekas yang diperbaiki dan diperbaharui, sehingga handphone tersebut, seolah-olah menjadi handphone baru dengan status “Black Market” atau handphone dengan status “Legal”.
Permasalahan di masyarakat lahir ketika, pembeli tidak mengetahui dan memahami, bahwa handphone yang dibeli merupakan handphone “Black Market” atau handphone “Legal”. Hal ini lebih diperparah dengan oknum penjual yang tidak memberikan penjelasan yang cukup terhadap para calon pembeli mengenai handphone “Black Market” handphone “Legal” atau handphone “Refurbished” yang akan dipilih oleh para calon pembeli.
Permasalahan di atas pernah dialami oleh banyak para pembeli hanphone, ketika membeli handphone Nokia 9300, Nokia 9300I, Nokia 6016 hingga Nokia XXXX. Handphone-handphone tersebut ternyata merupakan handphone “Black Market” dan beberapa diantaranya merupakan handphone “Refurbished”. Hal ini, diketahui setelah handphone tersebut mengalami kerusakan, yang kemudian dibawa ke service center handphone bersangkutan. Ternyata, service center dari produk handphone tersebut mengenakan “denda” pada pemilik handphone tersebut, dengan alasan handphone tersebut merupakan handphone “Black Market”.
Sebenarnya, untuk membedakan handphone “Black Market” yang beredar tidak terlalu sulit, karena pada umumnya, handphone- handphone “Black Market” memiliki karakteristik-karakteristik yang mudah dikenali secara umum. Seperti :
1. Nomor seri IMEI (International Mobile Equipment Identity), karena handphone ”Black Market” pada umumnya dikirimkan dengan tanpa kardus yang dicetak sesuai nomor IMEI masing-masing handphone. Selain itu, nomor IMEI pada umumnya dapat memberikan identitas Negara tujuan pendistribusian handphone.
Untuk mengetahui masing-masing nomor seri IMEI, maka kita dapat menekan *#06# (standar internasional GSM) dan *3001#12345# (standar internasional CDMA) yang diikuti dengan menekan tombol Ok. Nomor IMEI ini, terdiri atas sejumlah digit serial number yang unik, yang tidak sama antara handphone satu dengan handphone yang lainnya.
2. Layanan pasca penjualan (garansi), karena garansi merupakan jaminan dari pihak distributor kepada para konsumen mengenai kualitas handphone yang digunakan. Apabila handphone yang akan dibeli memiliki layanan garansi Principal. Seperti garansi Nokia, garansi Sony Ericson , atau garansi Samsung, maka handphone yang dijual merupakan handphone “Resmi” (Legal). Sedangkan apabila handphone yang akan dibeli memiliki layanan pasca penjualan (garansi) “Distributor” atau garansi “Toko”, maka handphone yang dijual merupakan handphone “Black Market” (Illegal).
Layanan pasca penjualan (garansi) yang ”Resmi”, secara fisik pada umumnya ditandai dengan stiker segel distributor resmi yang melekat pada handphone dan melekat pada dus-nya, seperti Nokia Indonesia dan LG Elektronik Indonesia. Selain itu, handphone- handphone “Black Market” pada umumnya memiliki dus handphone yang kurang baik dibandingkan dengan dus handphone “resmi”, selain buku panduan yang tidak ditulis ke dalam Bahasa Indonesia.
Perlu diketahui, bahwa sebenarnya kualitas handphone- handphone dengan status “Black Market” memiliki kualitas yang sama dengan handphone- handphone yang dipasarkan dengan status “Resmi”. Hanya saja, handphone dengan status “Black Market” dipasarkan dengan harga lebih “Murah” dengan “Resiko” tidak mendapatkan layanan pasca penjualan yang memuaskan ketika handphone yang dibeli mengalami permasalahan teknis (kerusakan).
Apabila meninjau hukum yang berlaku dari pandangan perlindungan konsumen terkait dengan status handphone “Black Market”, maka sebenarnya keberadaan handphone “Black Market”, telah berlawanan dengan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, karena pada hakikatnya konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa yang digunakannya (Pasal 4). Walaupun demikian, setiap konsumen harus memiliki itikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa, karena salah satu perlindungan konsumen, ditujukan untuk dapat mengangkat harkat dan martabat konsumen itu sendiri, dengan cara menghindarkannya dari dampak buruk dari pemakaian barang dan/atau jasa, selain menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen yang dapat menumbuhkan sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha (Pasal 2-3). Selaras dengan hal ini, , Pasal 7 telah menegaskan bahwa, “Penjual harus memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”.
Lebih jauh lagi, apabila kita meninjau peredaran handphone “Black Market” di masyarakat, maka peredaran handphone “Black Market” tidak hanya bertentangan dengan hukum yang terkait dengan perlindungan konsumen, karena apabila kita meninjau pada UU No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, khususnya Pasal 32, maka telah menjelaskan bahwa, perangkat telekomunikasi yang dibuat, dirakit, dimasukkan, diperdagangkan serta digunakan di dalam negeri, harus memenuhi persyaratan teknis dan izin yang ditentukan.
Terlepas dari keuntungan, kerugian dan peredaran handphone- handphone “Black Market” yang semakin meluas, maka yang terpenting ialah pengetahuan dan kesadaran yang cukup dalam memilih, membeli dan mempergunakan handphone yang sesuai dengan kebutuhan kita masing-masing.
Pada dasarnya
peredaran pasar black market ini bisa diredam sendiri tanpa harus banyak
tindakan dari pemerintah,misalnya saja apabila masyarakat tidak mau memebeli
dan tidak tergiur dengan harga murah dan barang yg bermerek maka mungkin saja
kegiatan pasar ini akan hilang dengan sendirinya tanpa harus dilakukan
penggerebekan masal.Tapi pada kenyataannya masyarak di Indonesia lebih banyak
memilih membeli barang-barang black market yg beredar dipasaran dari pada harus
membelinya di konter resmi yang telah ada di Indonesia, dan pada dasarnya
alasannya mereka memilih barang black market ini adalah tidak lain dan tidak
bukan hanya kerena barang ini harganya jauh sangat berdeda dengan harga yang
ditawarkan tempat legal jika harga barang di dealer resmi kisarannya seharga
5jutaan maka harga barang di pasar black market hanya berkisar 2jutaan sungguh
sangat jauh berbeda dengan harga asli yang ditawarkan oleh pasar-pasar resmi
yang menjual barang tersebut.
Tapi pada situs
barang black market dibatam mereka menyatakan kalau baranmg BM yang mereka jual
adalah barang yang original dan perbedaannya hanya berkisar antara 600-800san
menurut klaim mereka, dan mereka juga menyatakan kalau barang yang mereka jual
di batam harganya hanya berbeda sekitar 50% saja dari harga normal.Pada saat
zama yang serba online ini banyak juga para oknum yang malah memanfaatkan tren
pasar black market ini sebagai lahan penipuan besar-besaran dengan banyak
situs-situs seperti blogspot dan facebook yang mengklaim bahwa barang mereka
adalah dari Batam. Ternyata TIDAK!
Mengapa? Mereka hanya memposting spesifikasi dan foto-foto yang diambil di
dunia Maya. Dengan menjebak pembeli untuk melakukan transaksi lebih dahulu.
Sampai
saat ini penipuan semacam ini sudah marak populer. Hati-hati lah membeli barang
melalui situs-situs jejaring sosial seperti facebook ataupun blogspot dan
menyatakan lokasi di Batam. Terkecuali mereka bermodal hosting dan domain yang sudah ditetapkan juga
mempunyai sistem pemesanan mereka sendiri.Maka pada dasarnya
dalam melakukan jual beli memang jauh lebih aman kalau melakukannya dengan cara
langsung dan tanpa perantara karena akan jauh lebih aman dibandingkan dengan
kita melakukan transaksi dengan cara online atau transaksi di pasar yang menjual
barang Black Market karena kita belum tau kualitas barang dan juga kita belum
tentu puas dengan barang yang kita beli kedepannya,karna produk Black Market
itu merupakan produk mati yaitu produk yang apabila rusak tidak akan bisa di
service atau akan dikenakan denda untuk memperbaiki barang tersebut dan
barangnyapun belum tentu barang yang layak untuk diperjual belikan,karna barang
pada pasar Black Market bisa saja merupakan barang rusak atau cacar yang
kemudian diperbaiki sehingga memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari ketika
barang tersebut rusak. Maka lebih baik kita membeli barang legar yg dikenakan
pajak karena secara tidak langsungpun kita sudah meningkatkan penghasilan
Negara dengan cara membeli produk legal dan juga apabila terjadi kerusakan
prosedurnya lebih gampang untuk memperbaiki barangnya tersebut.Maka Belilah
Barang yang Legal di pasar yang Legal pula.