logo

logo
logo gunadarma

Friday, April 15, 2011

Pertumbuhan Industri Sulit Capai 5%

JAKARTA– Pertumbuhan sektor industri manufaktur pada kuartal I/2011 dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, diproyeksikan tidak akan mencapai 5%.

Sejumlah faktor masih secara langsung menghambat pertumbuhan industri manufaktur, antara lain belum diterbitkannya revisi PMK 241/ 2010 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor,belum maksimalnya penyerapan insentif yang disediakan pemerintah oleh sektor industri, serta belum optimalnya dukungan di pembiayaan perbankan,ketersediaan energi, serta infrastruktur bagi industri dan investasi.

Selain itu, pascaimplementasi kesepakatan perdagangan bebas kawasan ASEANChina (ACFTA),kondisi industri manufaktur nasional pun tertekan akibat serbuan produk impor asal China. “Kalau kondisinya seperti ini terus, pertumbuhan industri bakal terganggu. Revisi PMK 241/2010 belum terbit juga padahalpembahasansudahselesai 3 Maret 2011,serta harga minyak naik terus.

Saya khawatir pertumbuhandikuartalpertamaini tidak bisa mencapai 5%,” kata Kepala Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Arryanto Sagala di Jakarta kemarin. Selain itu, mengutip catatan Badan Pusat Statistik (BPS) soal ekspor produk industri yang turun dari Januari 2011 sebesar USD9,29 miliar menjadi USD8,95 miliar pada Februari 2011,Arryanto menilai hal itu menunjukkan adanya tren penurunan.

“Kondisi itu bisa menjadi semacam indikasi,” cetusnya. Arryanto menuturkan, apabila revisi PMK 241/2010 tidak juga terbit hingga akhir semester I/2011,pertumbuhan industri manufaktur yang diproyeksikan mencapai 6,1% pada tahun ini terancam tidak akan tercapai. Sementara itu,Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Teknologi, Industri, dan Riset Bambang Sujagat mengatakan, pemerintah seharusnya tahu apa saja tugas yang harus dilakukan untuk meningkatkan daya saing industri nasional.

“Industri kita membayar bunga bank yang lebih mahal dibandingkan negara tetangga di ASEAN. Selain itu, kita juga membayar biaya logistik lebih mahal 8%, terutama akibat tidak mendukungnya infrastruktur, seperti pelabuhan,” kata Bambang. Padahal, imbuhnya, industri tengah membutuhkan dukungan agar bisa terus efisien dan berinovasi.“Kalau kondisinya seperti ini terus,saya juga tidak yakin pertumbuhan bisa mencapai 5%,”ujar Bambang.

Terkait produk impor asal China yang semakin mudah membanjiri pasar domestik, Bambang mendesak pemerintah melakukan renegosiasi implementasi ACFTA. Pasalnya, ujar Bambang, kesepakatan perdagangan itu seharusnya mengacu pada aspek kerja sama perdagangan yang berimbang. Pesimisme juga diutarakan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi.

Dia mengatakan, apabila investasi baru di sektor manufaktur masih tertunda dan tidak terealisasi,pertumbuhan industri nasional tahun ini bisa anjlok dibandingkan 2010. Selama ini,menurut Sofjan, sektor utama pendorong pertumbuhan industri adalah automotif.Tapi dengan adanya bencana di Jepang, pasokan komponen ke industri automotif nasional mulai berkurang sehingga produksi pun bisa berkurang 20–30%. “Kalaupun investasi katanya bertumbuh, tapi bukan di sektor manufaktur.

Untuk investasi yang masuk tahun ini, itu juga baru bisa dirasakan hasilnya 1–2 tahun lagi. Akibatnya, cara gampang mengisi pasar lokal tetap dengan impor,” kata Sofjan. Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri dan Keramik In-donesia (Asaki) Achmad Widjaya mengatakan hal yang sama. Menurut dia, pada kuartal I/ 2011 konsumsi keramik nasional naik 10% dibandingkan 2010.Namun, pasar domestik justru diisi oleh produk impor asal China.

Sumber : http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/393031/

No comments:

Post a Comment