logo

logo
logo gunadarma

Sunday, May 6, 2012

Ancaman Persaingan Ekonomi Kreatif Terhadap Nasionalisme Bangsa



Dominasi UKM dalam Ekonomi Kreatif
Ekonomi kreatif adalah wacana baru yang sedang dikaji dan dicoba untuk diimplementasi secara serius oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Perdagangan. Dalam berbagai naskah studi ekonomi kreatif dan pemaparan Mari Elka Pangestu di media massa, ekonomi kreatif digambarkan sebagai sebuah kondisi ekonomi yang dipenuhi oleh daya kreativitas dalam hal penciptaan nilai tambah, strategi manajemen, hingga kepiawaian dalam menangkap peluang. Daya kreativitas yang diharapkan bahkan hingga menyentuh pada usaha untuk menjaga kelestarian unsur budaya lokal dan lingkungan, pemanfaatan energi yang terbarukan serta kemampuan untuk berkolaborasi dan mengorkestrasi dalam satu wadah kegiatan ekonomi.
Secara wacana, ekonomi kreatif memiliki arah yang tidak  hanya menguntungkan secara ekonomi tetapi juga secara moral, budaya, alam dan lingkungan masyarakat. Daya kreativitas yang timbul dari ekonomi kreatif, berdampak positif terhadap peningkatan kapasitas daya saing dan inovasi. Dibalik segala manfaat yang diharapkan dari ekonomi kreatif terdapat satu kenyataan yang tidak boleh dihilangkan yaitu dominasi usaha kelas kecil dan menengah (UKM) di Indonesia.
UKM dengan segala kekuatannya yang terbukti tahan terhadap terpaan krisis, di sisi lain juga memiliki persoalan dan kelemahan yaitu persaingan tidak sehat diantara UKM itu sendiri hingga persaingan dengan perusahaan besar padat modal dan berkapasitas produksi massal. Persaingan sebenarnya juga dapat dijadikan faktor pemicu berkembangnya kreativitas, tetapi jika persaingan berlangsung tidak adil yang terjadi adalah melemahnya ekonomi kreatif itu sendiri.
Kejahatan Persaingan dalam Ekonomi Kreatif terhadap Nasionalisme 
Nasionalisme tidak akan pernah terwujud jika setiap individu dibiarkan bertarung secara bebas sehingga mereka seakan dituntut untuk lebih memikirkan keselamatan dan eksistensi diri sendiri daripada bangsanya. Industri fesyen merupakan contoh nyata dari kondisi persaingan yang tidak sehat tersebut. Pelaku usaha skala kecil dan menengah dibiarkan bertarung bebas dalam pasar, tidak hanya bertarung dengan pemodal besar bahkan produk mereka dibiarkan bertarung bebas degan produk impor. Realita persaingan yang tidak adil tersebut muncul di Kota Batu, Jawa Timur. Setelah adanya pembangunan dan pembukaan pusat perbelanjaan besar yang berada tidak jauh dari pasar tradisional, omzet penjualan pedagang di pasar tradisional menurun. Penurunan omzet bahkan terjadi hingga menjelang hari raya Idul fitri, padahal para pedagang tersebut dalam satu tahun akan mendapatkan omzet di atas rata-rata pada hari-hari menjelang perayaan Idul Fitri.
Persaingan yang tidak adil itulah yang perlu dicermati dalam pembangunan ekonomi kreatif. Bukan hanya penurunan omzet yang akan menyerang pelaku UKM, lebih jauh lagi jika persaingan tidak dikelola dengan baik, ekonomi kreatif hanya sekadar menghasilkan produk kreatif tanpa makna. Tanpa makna yang dimaksud adalah produk yang dihasilkan hanya menghasilkan keuntungan secara ekonomi dan tidak menyentuh nilai-nilai lain yang diharapkan dari tumbuhnya ekonomi kreatif seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Kenyataan yang demikian sebenarnya tengah terjadi pada era kini, yaitu banyaknya produk yang membanjiri pasar dan hanya memberikan profit pada sebagian orang tetapi justru memberikan kerugian bagi banyak pihak. Kerugian tersebut dapat berupa kesehatan, kelestarian alam, upah pekerja yang dibawah ketetapan pemerintah hingga hilangnya budaya bangsa.
Kerugian-kerugian yang ditimbulkan dari persaingan tersebut dapat dijelaskan dengan pemaparan singkat. Pada awalnya muncul sebuah produk kreatif baru di pasar yang setelah diluncurkan di pasar ternyata mendapatkan respon positif dari pasar. Melihat kesuksesan tersebut produsen lain mencoba untuk menampilkan produk yang sama dan mencoba berkreasi dengan menambahkan fitur-fitur lain agar produknya sedikit memiliki keunggulan dan perbedaan dibanding produk pendahulunya. Setelah produk pesaing muncul di pasar, produsen yang menjadi pelopor bisa jadi kalah saing karena ternyata produsen kedua memiliki produk dengan fitur berbeda tetapi memiliki keunggulan lebih. Proses tersebut akan terus berulang hingga akhirnya berakhir pada kekalahan bagi pelaku UKM yang lemah secara modal, struktur manajemen, dan kapasitas produksi. Kekalahan tersebut bahkan dapat berlangsung lebih parah jika peluang pasar ditangkap oleh produsen padat modal, seperti yang telah dipaparkan di atas.
Kekalahan persaingan tersebut akhirnya memicu kreativitas baru dengan memunculkan produk-produk yang berharga murah, berfitur beda, dan memiliki keunggulan berbeda, tetapi sering menimbulkan kerugian tersendiri. Berharga murah terkadang diikuti oleh kualitas rendah yang mengakibatkan kerugian secara kesehatan, merusak lingkungan dan terkadang terpaksa menurunkan upah jasa karyawan. Fitur beda dengan strategi pemasaran yang penuh dengan persuasi, akhirnya dapat menimbulkan kebutuhan baru bagi masyarakat yang pada kenyataannya masyarakat tidak membutuhkan produk tersebut. Sebagai contoh adalah kemunculan minuman isotonik yang hanya menciptakan kebutuhan baru bagi masyarakat. Sebelum kemunculan minuman isotonik masyarakat sebetulnya cukup membuat larutan oralit yang sederhana jika benar-benar kekurangan cairan, tetapi setelah muncul produk-produk minuman isotonik, masyarakat pun akhirnya menjadikannya sebagai kebutuhan. Hal tersebut berdampak negative karena kebutuhan baru berarti penambahan pengeluaran baru.
Yang lebih parah adalah kejadian selajutnya, yaitu pada awalnya hanya muncul satu larutan isotonik, tetapi kemudian muncul berbagai merek yang hanya memiliki sedikit perbedaan. Iklan pemasaran minuman isotonik pun akhirnya justru mengarah untuk mendidik masyarakat bahwa terus mengkonsumsi minuman isotonik setiap hari adalah salah satu kebiasaan sehat. Padahal minuman isotonik yang dibuat secara tidak alami tersebut dapat memicu timbulanya gangguan pendengaran yang disebut meniere’s disease, yaitu gangguan pendengaran karena terganggunya keseimbangan elektrolit.
Kreativitas yang dituntut dalam ekonomi kreatif bukan hanya sekadar memodifikasi ulang produk yang sudah ada tetapi juga dituntut untuk menciptakan produk baru. Kreativitas untuk menciptakan produk baru dapat dijadikan alternatif untuk membuat persaingan menjadi lebih adil, tetapi pada kenyataannya produk baru memiliki resiko yang lebih tinggi dibanding produk-produk hasil modifikasi. Produk modifikasi lebih mudah dijalankan karena pelaku usaha dapat melihat pengalaman produsen dan kelemahan yang perlu diperbaiki dari produk sebelumnya, berbeda dengan produk baru yang memerlukan pendekatan baru terhadap pasar.
Dalam kajian studi yang berjudul Perkembangan Ekonomi Kreatif Indonesia oleh Departemen Perdagangan, disebutkan bahwa ada enam aktor yang akan dikolaborasikan dalam perkembangan ekonomi kreatif. Enam aktor tersebut adalah sumber daya insani (people), industri (industry), teknologi (technology), sumber daya (resources), institusi (institution), dan lembaga pembiayaan (financial intermediary). Kolaborasi tersebut diharapkan dapat menghasilkan kerjasama untuk mengoptimalkan pengembangan ekonomi kreatif, tetapi dalam paparan peran dan tugas aktor-aktor tersebut cenderung dituntut untuk terus meningkatkan kreativitas dan daya saing. Kolaborasi antara enam aktor tersebut memang mendorong tumbuhnya industri kreatif di Indonesia, tetapi pengelolaan persaingan dari banyaknya kreativitas yang akan muncul dari ekonomi kreatif kurang menjadi tugas dan tujuan dari enam aktor tersebut.
Departemen Perdagangan juga menyebutkan dalam Pembangunan Industri Kreatif 2025 bahwa pemerintah akan menciptakan kebijakan yang mendukung terciptanya persaingan yang sehat dalam ekonomi kreatif. Pemerintah memang sewajarnya menjadi penengah dalam persaingan usaha tetapi yang perlu diingat adalah sifat formal dari lembaga pemerintahan. Birokrasi pada lembaga pemerintahan yang formal harus mengelola persaingan pelaku usaha di Indonesia yang dapat dipastikan tengah didominasi oleh UKM dan cenderung bersifat informal.

No comments:

Post a Comment