logo

logo
logo gunadarma

Sunday, May 6, 2012

Barang Impor Kian Marak, Ekspor Bahan Mentah Dibanggakan

Kinerja sektor perdagangan pada 2011 ini dihiasi dengan kenyataan makin maraknya barang impor yang masuk dan kian menguasai pasar dalam negeri. Di sisi lain, peningkatan kinerja ekspor, khususnya di luar minyak dan gas (non-migas), ternyata tidak selaju impor, sehingga surplus perdagangan Indonesia terus menyusut.



Kenaikan ekspor ternyata tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas, karena masih didominasi barang mentah atau komoditas sumber daya alam, seperti barang pertambangan, perkebunan, pertanian, dan lainnya. Artinya, kenaikan ekspor Indonesia yang memang terjadi setiap tahunnya itu tidak perlu dibanggakan, karena ekspor barang mentah sudah dilakukan Indonesia sejak zaman penjajahan VOC/Belanda dulu.
Lonjakan barang impor pada tahun ini sebagian besar datang dari China. Selanjutnya, negara di ASEAN/Asia lainnya, seperti Thailand, Jepang, bahkan Malaysia dan Vietnam. Rata-rata impor yang masuk berupa barang jadi yang bernilai tambah tinggi. Sementara ekspor Indonesia berupa barang mentah yang tidak bernilai tambah, seperti batu bara, timah, minyak sawit mentah, dan lainnya.
Laju impor barang yang masuk pasar Indonesia dinilai akibat dampak pelaksanaan kawasan perdagangan bebas China dan ASEAN (China-ASEAN free trade area/CAFTA). Kementerian Perdagangan, sebagai lokomotif, seharusnya bisa menjaga keseimbangan perdagangan Indonesia, sehingga berdampak positif untuk sektor produktif di dalam negeri.
Selain impor produk industri, masalah juga terjadi tatkala impor buah-buahan, sayuran, daging, ikan, bahkan garam yang dilakukan Indonesia pada tahun ini seakan seperti memecahkan rekor sebelumnya. Jadi, bukan hanya industri dalam negeri saja yang menjerit, melainkan kalangan petani, peternak, atau pembudidaya di dalam negeri juga ikut teriak.
Namun, tampaknya institusi negara ini justru menutup mata terhadap dampak negatif implementasi CAFTA tersebut, khususnya terhadap industri nasional atau usaha produktif di dalam negeri lainnya. Padahal faktanya, serbuan barang-barang impor dari China sudah membuat industri yang memproduksi barang serupa terpuruk, bahkan tidak sedikit yang sudah gulung tikar akibat tidak mampu bersaing.
Seperti yang dikatakan sebelumnya oleh Managing Director Econit Advisory Group Hendri Saparini, kinerja Kementerian Perdagangan secara umum memang terlihat berhasil, karena kinerja impor dan ekspor meningkat.
"Ekspor memang meningkat, tetapi bentuknya berupa bahan mentah dan sumber daya alam, sementara impor lebih banyak berupa barang jadi. Jika melihat kesulitan industri nasional saat ini, kita sudah babak belur karena banyak industri yang terpuruk akibat CAFTA," katanya.
Seiring pelaksanaan perdagangan bebas dengan konsekuensi terbukanya pasar Indonesia, sebenarnya banyak kalangan yang mengingatkan agar pemerintah berhati-hati. Ini dikarenakan sudah jelas-jelas Indonesia tidak siap menghadapi era perdagangan bebas tersebut. Ini bukan salah siapa-siapa, ya salah pemerintah sendiri.
Hingga saat ini, sebagian besar produk Indonesia tidak bisa bersaing di tataran pasar internasional karena harga dan kualitasnya tidak kompetitif dibanding produk serupa dari China, Thailand, dan Vietnam. Kebijakan ekonomi hingga kini belum mampu mengatasi berbagai kendala maupun sumbatan dalam upaya meningkatkan kinerja industri di dalam negeri untuk menciptakan produk yang kompetitif.
Akibatnya, kebijakan perdagangan bebas yang dijalankan Indonesia, seperti yang tertuang dalam CAFTA dan Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) justru memukul pelaku industri dan dunia usaha di dalam negeri. Termasuk kalangan petani dan kawan-kawannya. Pemerintah hingga kini belum mampu mengatasi masalah untuk memperkuat daya saing industri, seperti keterbatasan infrastruktur, ekonomi biaya tinggi, dan efisiensi birokrasi.
Anggota Komisi VI DPR Hendrawan Supratikno mengatakan, Kementerian Perdagangan selama ini menjalankan kebijakan yang dianggap penting dan sebagai prioritas. Namun, dalam perjalanannya justru tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah sendiri yang fokus pada penciptaan lapangan kerja serta pengentasan kemiskinan dan pengangguran.

Kemunduran

Sementara itu, guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang Ahmad Erani yustika mengatakan, pelaksanaan liberalisasi ekonomi dan perdagangan bebas oleh pemerintah sudah berdampak pada kemunduran sektor industri di dalam negeri dan sektor produktif lainnya. Sektor pertanian (tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan, dan lainnya) juga mengalami stagnasi karena pemerintah lebih mengedepankan impor untuk memenuhi pasokan dan kebutuhan masyarakat di dalam negeri.
Sebenarnya penghentian penerapan mekanisme pasar dan pemberlakuan pasar bebas yang kebablasan bisa dilakukan pemerintah. Harus ada perubahan radikal untuk mencapai cita-cita ekonomi konstitusi. Saat ini arah pembangunan ekonomi makin jauh dari konstitusi," ujarnya.
Jika dikaitkan dengan perdagangan bebas China-ASEAN maupun dengan negara lain di Asia, sudah jelas menimbulkan persoalan serius dengan kondisi Indonesia yang belum siap. Apalagi penguatan daya saing industri di dalam negeri hingga kini belum menunjukkan hal yang menggembirakan.
Di sisi lain, China tentu juga tidak puas dengan pencapaian yang telah diraih. Seperti halnya AS, China juga sangat agresif membuka kerja sama ekonomi negara-negara kawasan, khususnya di Asia, dalam bingkai perdagangan bebas. China di antaranya merebut kesempatan di pasar Asia Tenggara dengan meratifikasi CAFTA. Pasar ASEAN dibidik China karena di wilayah ini sekurangnya ada empat negara yang perekonomiannya menonjol.

Perubahan

Ke depan, Kementerian Perdagangan diharapkan tidak lagi menelurkan kebijakan yang menuai resistensi dan cenderung kontroversial. Kebijakan-kebijakan itu harus diubah dan tidak lagi meninggalkan kepentingan nasional. Artinya produk impor tidak lagi mendominasi pasar Indonesia dan ekspor bisa didominasi produk-produk yang bernilai tambah tinggi.
Jika tidak ada perubahan signifikan dalam garis kebijakan, maka tidak akan bisa mendorong peningkatan kinerja bidang ekonomi secara umum. Artinya, kondisinya tidak akan jauh berbeda dengan sebelumnya.
Salah staunya, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan harus mengantisipasi limpahan produk China ke Indonesia ke depan ini. Apalagi diperkirakan akan jauh lebih besar akibat dampak lanjutan krisis di negara-negara Eropa saat ini. Saat ini saja, China sudah merasakan dampak krisis di Eropa dan Amerika Serikat dengan menurunnya ekspor.
Jika ini terjadi, maka China kemungkinan akan kehilangan pasar ekspornya mengingat Eropa saat ini merupakan pasar ekspor terbesar China atau mencapai 20 persen dari total ekspor negara tersebut. China sendiri siap mengalihkan produk ekspornya ke negara lain, termasuk ke Indonesia. Dinamika yang terjadi di Eropa harus menjadi perhatian bersama, terutama Kementerian Perdagangan.
Menteri Perdagangan Gita Irawan Wirjawan, yang baru menggantikan koleganya, Mari Elka Pangestu, pada Oktober 2011 lalu, memang menargetkan total ekspor nonmigas Indonesia 2011 bisa mencapai lebih dari 150-160 miliar dolar AS. Apalagi, berdasarkan data per Oktober 2011, total ekspor sudah mengalami peningkatan sebesar 30 persen lebih dibanding periode yang sama tahun 2010 lalu. Hingga Oktober 2011, total ekspor nonmigas sudah mencapai 134,7 miliar dolar AS.
Namun Gita mengakui ekspor masih didominasi produk-produk yang berbasis pada sumber daya alam yang pemanfaatan teknologinya rendah atau paling tinggi tingkat menengah.
Meski demikian, peningkatan ekspor hingga Oktober 2011 tidaklah berarti jika melihat lonjakan impor. Nilai impor Indonesia selama Januari-Oktober 2011 mencapai 145,68 miliar dolar AS atau meningkat 33,03 persen jika dibanding impor periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 109,51 miliar dolar AS. Artinya, nilai impor sudah hampir menyamai ekspor.
Di mana impor nonmigas selama Januari-Oktober 2011 mencapai 112,08 miliar dolar AS atau naik 27,82 persen dibanding impor nonmigas periode yang sama tahun 2010 sebesar 87,69 miliar dolar AS. Negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari-Oktober 2011 masih ditempati oleh China dengan nilai 20,71 miliar dolar AS dengan pangsa 18,47 persen. Diikuti Jepang 15,60 miliar dolar AS (13,92 persen) dan Singapura 8,86 miliar dolar AS (7,90 persen). Selanjutnya, impor nonmigas dari ASEAN mencapai 22,27 persen, sementara dari Uni Eropa sebesar 8,93 persen.
Dengan kenyataan dan angka-angka di atas, apakah kinerja sektor perdagangan ke depan, khususnya terkait ekspor-impor, akan jauh lebih baik dibanding tahun 2011 ini? Atau malah surplus perdagangan akan terus menipis dan puncaknya Indonesia justru mengalami defisit. Ini mungkin terjadi jika barang-barang impor terus dibiarkan bebas masuk merajalela serta menguasai pasar dalam negeri, sementara ekspor non-migas kita tidak bisa beranjak dari barang-barang mentah. 

Sumber:http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=293261

No comments:

Post a Comment