Pendidikan kita semakin miris dan nyaring menjerit dengan kompleksnya permasalahan
yang sedang dihadapi. Permasalahan mulai dari sistem pendidikan,
kebijakan pendidikan, pergantian dan atau perubahan kurikulum, materi
ajar, inovasi pembelajaran, anggaran pendidikan, kualitas guru dan
sertifikasi guru, mahalnya biaya pendidikan, biaya buku, biaya seragam,
minimnya penghargaan bagi guru juga ilmuan, dan masih banyak
permasalahan lainnya merupakan sederetan panjang fenomena pendidikan
kita.
Pendidikan kita saat ini menjerit karena adanya diskriminasi. Terjadi
pengkotak-kotakan dalam dunia pendidikan kita dengan adanya Rintisan
Sekolah Berstandar Internasional (RSBI), Sekolah Berstandar
Internasional (SBI) dan sekolah regular (biasa). Adanya perbedaan yang
signifikan antara RSBI, SBI dan sekolah regular, baik dari sarana dan
prasarana (fasilitas) maupun dari segi biaya pendidikannya. Siswa yang
berhak masuk ke RSBI dan SBI hanyalah anak yang berasal dari keluarga
kaya, sebab biaya pendidikannya sangat mahal sedangkan anak dari
keluarga kurang mampu sulit atau bahkan tidak dapat menikmati sekolah
berkualitas itu karena terkendala di dana/biaya pendidikan. Ini adalah
modus pendiskriminasian pendidikan masa kini.
Mahalnya Biaya Pendidikan
Mahalnya biaya pendidikan tetap menjadi jeritan pendidikan kita. Uang
masuk/mendaftar TK dan SD membutuhkan biaya Rp 500.000 hingga Rp
1.000.000 bahkan ada yang memungut di atas satu jutaan. Biaya masuk
SLTP/SLTA mencapai Rp 1 jutaan sampai Rp 5 jutaan, bahkan lebih. Belum
lagi biaya untuk membeli buku, seragam sekolah atau pungutan-pungutan
lain. Katanya saja ada pendidikan gratis, namun nyatanya biaya
pendidikan tetap melambung tinggi.
Rendahnya kualitas sarana fisik pendidikan juga merupakan jeritan
pendidikan saat ini. Masih banyak gedung sekolah yang rusak. Seperti
data BPS 2010 yang menyatakan bahwa 42,12% sekolah di Indonesia dengan
kondisi fisik kategori baik, 34,62% mengalami rusak ringan dan 23,26%
mengalami rusak berat/parah. Padahal gedung sekolah sebagai tempat
berlangsungnya pendidikan formal sangat penting demi tercapainya
pembelajaran, dan menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif.
Anggaran pendidikan 20% yang belum terealisasi dengan tepat sasaran juga
merupakan jeritan pendidikan kita. Apalagi bagi sekolah-sekolah di
pinggiran kota atau di pedesaan, anggaran 20% tidak begitu tampak nyata
(signifikan). Sehingga masih banyak juga anak-anak yang putus sekolah
dan tidak bersekolah.
Tidak hanya itu, pendidikan juga menjerit dengan nyaring dengan tetap
diberlakukannya ujian nasional (UN) sebagai penentu kelulusan siswa. UN
telah mengerdilkan makna pendidikan. Diberlakukannya UN sebagai penentu
kelulusan di tengah kondisi pendidikan yang belum mampu mencapai target
yang diberikan pemerintah sehingga UN selalu diwarnai kecurangan. Selain
itu, kebijakan tersebut telah merampas hak guru untuk memberikan
evaluasi dan menentukan kelulusan peserta didiknya. Padahal guru yang
mengetahui proses dan perkembangan dari hasil pendidikan dan pengajaran
yang dilakukan. Sebab, pendidikan tidak hanya diukur dari kognitifnya
saja melainkan sikap, moral, prilaku sebagai manusia seutuhnya.
Pendidikan juga semakin kerdil di kalangan mahasiswa sebagai kaum
intelektual. Banyak sekali kaum intelektual kita setelah menjadi alumni
hanya mengharapkan lowongan menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Dan
pendidikan di perguruan tinggi/PT yang hanya menghasilkan lulusan untuk
mencari lowongan pekerjaan bukan pencipta lowongan pekerjaan. Selain
itu, lulusan PT juga banyak yang menjadi pengangguran
intelektual/terdidik.
Jeritan pendidikan juga tidak terlepas dari rendahnya kualitas guru,
baik dalam merencanakan pembelajaran, melakukan pembelajaran bahkan
evaluasi pembelajaran (analisis pembelajaran). Adanya sertifikasi guru
tidak mampu meningkatkan mutu dan kualitas guru Indonesia. Program
sertifikasi yang dilaksanakan selama sepuluh hari diklat memaksa
(mengkarbit) guru "profesional" namun keprofesionalan yang dimaksud,
hanya dengan menerima sertifikat dan tunjangan profesional, tetapi tidak
berbanding lurus dengan mutu pendidikan kita. Bahkan guru-guru yang
dianggap profesional tersebut tidak ada berbeda dengan guru belum
bersertifikat profesional dalam hal pembelajaran.
Berikutnya, kurangnya perhatian pemerintah terhadap ilmuan bahkan
peneliti di negeri ini juga merupakan masalah dalam pendidikan kita.
Ilmuan yang seharusnya dapat memberikan sumbangsih pada perkembangan
pendidikan di Indonesia, lebih banyak yang memilih bekerja di luar
negeri karena tidak mendapat tempat yang layak untuk mengembangkan
pendidikan Indonesia.
Jeritan pendidikan kita ini, perlu di"dengarkan" oleh pemerintah, guru
sebagai pendidik, mahasiswa sebagai kaum intelektual sehingga pendidikan
kita dapat lebih maju. Pendidikan yang berkualitas akan menjadikan
bangsa ini mencapai puncak yang gemilang. Pemerintah negeri ini,
dengarkanlah suara nyaring jeritan pendidikan kita yang meminta
keseriusan pemerintah dalam hal pengentasan kemiskinan dan kebodohan
serta memajukan bangsa tercinta ini
No comments:
Post a Comment