logo

logo
logo gunadarma

Thursday, June 21, 2012

Mirisnya Pendidikan

Pendidikan kita semakin miris dan nyaring menjerit dengan kompleksnya permasalahan yang sedang dihadapi. Permasalahan mulai dari sistem pendidikan, kebijakan pendidikan, pergantian dan atau perubahan kurikulum, materi ajar, inovasi pembelajaran, anggaran pendidikan, kualitas guru dan sertifikasi guru, mahalnya biaya pendidikan, biaya buku, biaya seragam, minimnya penghargaan bagi guru juga ilmuan, dan masih banyak permasalahan lainnya merupakan sederetan panjang fenomena pendidikan kita.

Pendidikan kita saat ini menjerit karena adanya diskriminasi. Terjadi pengkotak-kotakan dalam dunia pendidikan kita dengan adanya Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI), Sekolah Berstandar Internasional (SBI) dan sekolah regular (biasa). Adanya perbedaan yang signifikan antara RSBI, SBI dan sekolah regular, baik dari sarana dan prasarana (fasilitas) maupun dari segi biaya pendidikannya. Siswa yang berhak masuk ke RSBI dan SBI hanyalah anak yang berasal dari keluarga kaya, sebab biaya pendidikannya sangat mahal sedangkan anak dari keluarga kurang mampu sulit atau bahkan tidak dapat menikmati sekolah berkualitas itu karena terkendala di dana/biaya pendidikan. Ini adalah modus pendiskriminasian pendidikan masa kini.

Mahalnya Biaya Pendidikan

Mahalnya biaya pendidikan tetap menjadi jeritan pendidikan kita. Uang masuk/mendaftar TK dan SD membutuhkan biaya Rp 500.000 hingga Rp 1.000.000 bahkan ada yang memungut di atas satu jutaan. Biaya masuk SLTP/SLTA mencapai Rp 1 jutaan sampai Rp 5 jutaan, bahkan lebih. Belum lagi biaya untuk membeli buku, seragam sekolah atau pungutan-pungutan lain. Katanya saja ada pendidikan gratis, namun nyatanya biaya pendidikan tetap melambung tinggi.

Rendahnya kualitas sarana fisik pendidikan juga merupakan jeritan pendidikan saat ini. Masih banyak gedung sekolah yang rusak. Seperti data BPS 2010 yang menyatakan bahwa 42,12% sekolah di Indonesia dengan kondisi fisik kategori baik, 34,62% mengalami rusak ringan dan 23,26% mengalami rusak berat/parah. Padahal gedung sekolah sebagai tempat berlangsungnya pendidikan formal sangat penting demi tercapainya pembelajaran, dan menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif.

Anggaran pendidikan 20% yang belum terealisasi dengan tepat sasaran juga merupakan jeritan pendidikan kita. Apalagi bagi sekolah-sekolah di pinggiran kota atau di pedesaan, anggaran 20% tidak begitu tampak nyata (signifikan). Sehingga masih banyak juga anak-anak yang putus sekolah dan tidak bersekolah.

Tidak hanya itu, pendidikan juga menjerit dengan nyaring dengan tetap diberlakukannya ujian nasional (UN) sebagai penentu kelulusan siswa. UN telah mengerdilkan makna pendidikan. Diberlakukannya UN sebagai penentu kelulusan di tengah kondisi pendidikan yang belum mampu mencapai target yang diberikan pemerintah sehingga UN selalu diwarnai kecurangan. Selain itu, kebijakan tersebut telah merampas hak guru untuk memberikan evaluasi dan menentukan kelulusan peserta didiknya. Padahal guru yang mengetahui proses dan perkembangan dari hasil pendidikan dan pengajaran yang dilakukan. Sebab, pendidikan tidak hanya diukur dari kognitifnya saja melainkan sikap, moral, prilaku sebagai manusia seutuhnya.

Pendidikan juga semakin kerdil di kalangan mahasiswa sebagai kaum intelektual. Banyak sekali kaum intelektual kita setelah menjadi alumni hanya mengharapkan lowongan menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Dan pendidikan di perguruan tinggi/PT yang hanya menghasilkan lulusan untuk mencari lowongan pekerjaan bukan pencipta lowongan pekerjaan. Selain itu, lulusan PT juga banyak yang menjadi pengangguran intelektual/terdidik.

Jeritan pendidikan juga tidak terlepas dari rendahnya kualitas guru, baik dalam merencanakan pembelajaran, melakukan pembelajaran bahkan evaluasi pembelajaran (analisis pembelajaran). Adanya sertifikasi guru tidak mampu meningkatkan mutu dan kualitas guru Indonesia. Program sertifikasi yang dilaksanakan selama sepuluh hari diklat memaksa (mengkarbit) guru "profesional" namun keprofesionalan yang dimaksud, hanya dengan menerima sertifikat dan tunjangan profesional, tetapi tidak berbanding lurus dengan mutu pendidikan kita. Bahkan guru-guru yang dianggap profesional tersebut tidak ada berbeda dengan guru belum bersertifikat profesional dalam hal pembelajaran.

Berikutnya, kurangnya perhatian pemerintah terhadap ilmuan bahkan peneliti di negeri ini juga merupakan masalah dalam pendidikan kita. Ilmuan yang seharusnya dapat memberikan sumbangsih pada perkembangan pendidikan di Indonesia, lebih banyak yang memilih bekerja di luar negeri karena tidak mendapat tempat yang layak untuk mengembangkan pendidikan Indonesia.

Jeritan pendidikan kita ini, perlu di"dengarkan" oleh pemerintah, guru sebagai pendidik, mahasiswa sebagai kaum intelektual sehingga pendidikan kita dapat lebih maju. Pendidikan yang berkualitas akan menjadikan bangsa ini mencapai puncak yang gemilang. Pemerintah negeri ini, dengarkanlah suara nyaring jeritan pendidikan kita yang meminta keseriusan pemerintah dalam hal pengentasan kemiskinan dan kebodohan serta memajukan bangsa tercinta ini

No comments:

Post a Comment