Pada
akhir tahun tujuh puluhan orang mengenal istilah stagflation (stagnation and
inflation), di mana inflasi terjadi berbarengan dengan stagnasi. Dewasa ini
Indonesia menghadapi dua kondisi yang terjadi secara simultan yang sifatnya
antagonistis, yakni pertumbuhan ekonomi berlangsung serentak dan kemiskinan.
Dari satu segi, kondisi makro ekonomi berada dalam keadaan yang cukup meyakinkan.
Tingkat inflasi relatif cukup terkendali pada tingkat satu digit, import-eksport
berjalan cukup baik, tingkat bunga lumayan rendah dan cadangan devisa cukup
tinggi untuk dapat menjamin import dalam waktu sedang, investasi cukup tinggi (angka-angkanya
boleh dilihat sendiri dalam Laporan BPS, Laporan Bank Indonesia dan Nota
Keuangan).
Tetapi dari segi mikro, pengangguran dan kemiskinan makin meningkat. Urbanisasi
meningkat terutama dari kelompok miskin dan pengemis. Tidak hanya di Jakarta,
tetapi juga disemua kota-kota besar seluruh Indonesia. Semua ini menandakan
adanya kemiskinan dan sempitnya kesempatan kerja di pedesaan.
Dibandingkan dengan banyak negara lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak
rendah. Bahkan ketika krisis keuangan global yang menimpa hampir semua negara,
sebagai akibat dari krisis kredit perumahan (prime morgate loans) di Amerika,
yang bermula pada tahun 2006 sampai tahun 2009, ekonomi Indonesia tidak
mengalami goncangan yang berarti.
Kemampuan untuk meredam akibat dari keuangan ini dapat terjadi berkat kebijakan
makro ekonomi yang hati-hati dan tepat, di samping kondisi keterbukaan yang
memangnya tidak sebesar negara-negara tetangga seperti Singapore dan Malaysia.
Kemampuan Indonesia bertahan terhadap krisis keuangan tersebut menimbulkan
keyakinan rakyat pada kemampuan pemerintah SBY Periode I, sehingga dapat
memenangkan Pemilihan Umum untuk Priode II. Sayangnya keberhasilan dalam bidang
ekonomi pada tataran makro ini tidak mampu menekan tingkat kemiskinan yang sejak
lama sudah berlangsung.
Selama masa yang panjang, sejak beberapa dekade yang lalu, di Indonesia
berlangsung proses pemiskinan desa secara berkelanjutan. Dalam Era Orde Baru
dikenal kebijaksanaan peningkatan ekspor non-migas. Sub-sektor industri non
migas ini menjadi prioritas utama. Berbagai fasilitas diberikan kepadanya,
termasuk hak untuk membayar upah buruh rendah.
Upah buruh murah ini memang telah menjadi trade mark Indonesia dalam promosi
penarikan modal asing. Asumsi yang dipakai, bahwa dengan upah buruh yang murah,
maka harga pokok barang-barang yang diproduksi akan murah. Dengan demikian,
produk eksport Indonesia mempunyai daya saing yang tinggi. Padahal, meskipun
harga pokok mempunyai korelasi dengan daya saing, karena barang dapat dijual
dengan harga murah, tetapi daya saing suatu barang tidak sekadar ditentukan oleh
harga (pokok), tetapi juga oleh kualitas barang, teknik marketing , politik/
diplomasi dan lain-lain.
Agar buruh (termasuk PNS) dapat hidup, maka harga bahan makanan harus dapat
dipertahankan rendah. Inilah yang menjadi tugas pokok Bulog sejak waktu itu.
Jika harga bahan makanan dalam negeri naik, Bulog segera harus mengimpor dari
luar negeri. Rendahnya harga bahan makanan yang note bene hasil produksi petani,
mengakibatkan terjadinya proses pemiskinan petani di daerah pedesaan secara
berkelanjutan.
Perbedaan dua kondisi yang yang berlangsung secara terus menerus tersebut selama
masa yang panjang telah mengakibatkan semakin melebarnya ketimpangan ekonomi
antar penduduk di Indonesia. Hal yang perlu diindahkan adalah, jika ketimpangan
pendapatan antar penduduk sudah sangat lebar, akan terdapat kecenderungan
mengaburnya pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran dari pembangunan. Artinya, setiap
kita melihat adanya pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh peningkatan
pendapatan per kapita, sulit dirasakan, pada saat yang sama boleh jadi sedang
berlangsung proses pemiskinan.
Sebagai contoh dari keadaan ini dapat ditunjukkan dengan angka-angka sederhana
sebagai berikut:
Jika misalnya, suatu negara berpenduduk 100 juta orang, terdapat 5% penduduk
dengan pendapatan rata-rata US$ 300.000 per tahun, sementara 95% lainnya
berpendapatan US $ 3000 per tahun (setingkat pendapatan rata-rata Indonesia
sekarang). Andaikan, jika golongan penduduk kaya yang 5% itu naik pendapatannya
10% per tahun, sementara golongan menengah ke bawah yang 95% itu mengalami
penurunan pendapatan per tahun sebesar 20%, akan terjadi kenaikan pendapatan
rata-rata sebesar 5,21%. Hal ini dapat ditunjukan dengan perhitungan sederhana
seperti berikut.
1. Total pendaptan semula adalah:
a. 5 Juta X US$ 300.000 = US$ 1.500.000
b. 95 Juta X US$ 3.000 = US$ 285.000
Total pendaptan US$ 1.785.000
2. Kalau kemudian terjadi kenaikan pendapatan 10% dari golongan kaya (5%), dan
pendaptan golongan miskin turun 20%, maka akan terlihat:
a. Total pendapatan penduduk kaya yang 5% menjadi = US$ 1.500.000 + US$ 150.000
= US$ 1.650.000
b. Total pendapatan penduduk menengah dan miskin yang 95% adalah = US$ 285.000 -
US$ 57.000 = US$ 228.000.
3. Total pendapatan nasional baru adalah = US$ 1.650.000 + US$ 228.000 = US$
1.878.000. Ini berarti telah terjadi pertumbuhan ekonomi sebesar =
US$ 1878.000 – US$ 1.785.000 = US$ 93.000 atau sama dengan (93.000 / 1.785.00) x
100% = 5,21%.
Dengan demikian dapat dipahami mengapa meskipun kita mengalami kenaikan
pendapatan per kapita setiap tahun sekitar 5 - 6%, kemiskinan dalam masyarakat
makin bertambah. Inilah barangkali yang dapat disebutkan sebagai growth with
poverty atau bisa kita singkat sebagai groverty, atau dalam bahasa Indonesia
dapat disebut sebagai pertumbuhan dengan kemiskinan atau disingkat sebagai
pertumkin. Meskipun contoh tersebut memang dikemukakan secara agak menyolok,
tetapi bagaimanapun, inilah yang sedang terjadi di Indonesia dewasa ini.
Akibat dari keadaan ini tidak mengherankan, kalau di satu pihak ada yang
mengklaim bahwa proses pembangunan nasional berjalan mulus, ditandai dengan
kenaikan pendapatan per kapita tiap tahun. Di lain pihak ada yang menuduh,
pembangunan ekonomi gagal karena tidak dapat menghilangkan kemiskinan.
Singkatnya, yang menjadi masalah adalah melebarnya ketimpangan ekonomi antar
penduduk dalam masyarakat, yang tidak sepenuhnya dapat ditunjukkan hanya dengan
menggunakan indeks gini ratio. Untuk mengatasinya, diperlukan adanya pengamatan
yang lebih seksama di lapangan dan kebijakan yang bersifat affirmatif memihak
kepada golongan miskin, terutama kepada mereka yang ada di pedesaan.
No comments:
Post a Comment