Dalam
penegasan Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutarjo,
mengenai kebijakan dibukanya pintu impor bagi industrialisasi
perikanan, lumayan melegakan kalangan industri pengolahan ikan. Tapi
sejatinya, kebijakan mempermudah jalur impor ikan itu perlu
dipertanyakan. Apakah memberi manfaat atau sebaliknya menjadi palu
godam bagi laju perekonomian nelayan kecil, khususnya di daerah.
Menurut para industrialisasi tanah air, pasokan bahan baku ikan di
Indonesia tidak memadai bagi konsumsi industri pengolahan ikan kaleng
yang ada. Benarkah di negara matirim ini kekurangan bahan baku ikan? Bukankah kebijakan impor ikan bentuk tega-teganya membunuh nelayan tradisional dengan "pisau" kemiskinan?
Indonesia seperti negeri tandus tanpa sumber daya alam saja harus
meingimpor ikan. Sementara, Indonesia acap disebut sebagai pulau
atlantis, yang kekayaannya melimpah ruah. negri kita memiliki laut
yang luas, tanah super subur, sampai tongkat ditanam pun dapat
tumbuh.
SaAt produk ikan impor mulai menguasai pasar lokal dan tradisional,
harga ikan pun jatuh. Akibatnya, nelayan kewalahan dengan ikan
tangkapannya.
Karena itu, saya mempertanyakan kebijakan pemerintah mengambil
"senjata pamungkas", mengimpor bahan baku ikan dan di sisi lain
membiarkan ekspor bahan baku hasil hutan seperti rotan.
Bahkan, kebijakan impor ikan itu merupakan bentuk kurangnya
perhatian pemerintah terhadapa masalah nelayan dan kaum papa. Impor
ikan dan sumber daya alam lainnya yang mudah didapatkan, tidak
perlu dilakukan. Tutup kembali kebijakan membuka impor ikan itu
karena banyak dampaknya ketimbang manfaat keuntungan "sesaat."
Lebih jauh dipertanyakan, apakah alam Indonesia tidak memberikan
nilai tambah atau tidak lagi produktif sehingga pemerintah harus
mengimpor yang notebene menyengsarakan rakyat sendiri?
Saya prihatin dengan kebijakan pemerintah yang tidak jelas atas
kebijakan impor yang dilakukannya. Suatu kebijakan yang tidak
mendukung bagi pengembangan industri dalam negeri.
No comments:
Post a Comment