logo

logo
logo gunadarma

Thursday, January 5, 2012

Kenaikan Harga Pupuk Beratkan Petani

Kebijakan pemerintah menaikkan harga eceran tertinggi (HET) untuk pupuk urea bersubsidi sebesar 12,5 persen mulai 1 Januari 2012 dari sebelumnya Rp 1.600 per kilogram (kg) menjadi Rp 1.800 per kg akan memberatkan petani.
Sebab peningkatan nilai tukar petani (NTP) di berbagai daerah selama ini tidak bisa disamaratakan. Bahkan, tren NTP belum mencerminkan kesejahteraan petani karena peningkatan NTP belum mampu mengimbangi lonjakan harga barang.
Pernyataan tersebut disampaikan Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir dan pengamat pertanian Univeristas Diponegoro (Undip) Semarang Purbayu Budi Santosa secara terpisah di Jakarta, Rabu (4/1).
"Petani yang mempunyai lahan kecil atau kurang dari 0,3 hektare akan kesulitan dengan naiknya harga pupuk bersubsidi sebesar 12,5 persen. Kalau untuk petani yang mempunyai lahan lebih dari 1 hektare tentu tidak masalah karena diimbangi dengan hasil panen," kata Winarno.
Menurut dia, meskipun kenaikan hanya Rp 200 per kg, namun akan mempengaruhi konsumsi pupuk sehingga hasil panen tidak maksimal yang akan berdampak pada hasil panen. "Bagi petani kecil, kenaikan pupuk ini akan berpengaruh karena penghasilan yang tidak sesuai dengan pengeluaran," ujarnya.
Apalagi, tata niaga hasil pertanian di dalam negeri cukup buruk sehingga menyulitkan petani untuk menjual hasil pertaniannya. Pemerintah, lanjut dia, meminta pada petani untuk terus menanam, namun di sisi lain pemerintah tidak menyediakan jalur distribusi untuk penjualan hasil pertanian.
Sementara itu, Purbayu Budi Santosa mengatakan, tren nilai tukar petani (NTP) yang mengalami kenaikan sepanjang 2011, dianggap belum mencerminkan kesejahteraan petani, mengingat kenaikan NTP belum mampu mengimbangi lonjakan harga barang. Karena itu, pengamat pertanian Undip ini menilai, NTP tidak bisa dilihat sebagai satu-satunya indikator kesejahteraan petani. Namun perlu mempertimbangkan faktor produksi serta kepemilikan lahan.
"Apabila harga komoditas pertanian naik namun produksinya sedikit, di sisi lain harga barang yang dikonsumsi petani naik, apa ini bisa dibilang sejahtera?" ujarnya di Semarang.
Lebih jauh dia mengatakan, faktor kepemilikan lahan yang mencakup status dan luas, juga harus dicermati karena berkaitan dengan produksi yang kemudian berpengaruh terhadap pendapatan petani. "NTP naik dengan lahan yang luas dan status petani sebagai pemilik, itu namanya baru sejahtera. Tapi, pada umumnya para petani gurem hanyalah sebagai penggarap," ucapnya.
Selain itu, sistem oligopsoni yang berlangsung selama ini membuat sebagian besar margin penjualan komoditas pertanian. Misalnya, gabah dinikmati oleh pedagang atau tengkulak.
Di lain pihak, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Jateng Aris Budiono mengatakan, NTP menjadi indikator ilmiah kesejahteraan petani yang sudah diuji oleh banyak pakar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah menyebutkan, NTP Jateng selama setahun terakhir menunjukkan tren kenaikan dari posisi 102,92 pada Januari 2011 melesat menjadi 106,62 pada Desember 2011.

No comments:

Post a Comment