Sepanjang 1 abad belakangan ini, krisis keuangan terus terjadi dan
berulang. Setelah didera krisis hebat sejak tahun 1929, ekonomi dunia
tak pernah sepi dari krisis yang kekerapannya lebih dari 20 kali krisis.
Kini di tahun 2008 perekonomian global kembali mengalami goncangan
dahsyat. Bermula dari subprime mortgage crisis di Amerika Serikat (A.S.)
tahun 2007 yang lalu, dalam waktu relatif singkat kemudian dalam tahun 2008 berubah menjadi tsunami keuangan yang melanda sistem dan pasar keuangan global, tak terkecuali pasar keuangan Indonesia.
Menurut Stiglitz, krisis keuangan di AS yang menjalar menjadi krisis
keuangan global saat ini lebih buruk dari Great Depression pada era
1930-an. Krisis ini telah membuka mata masyarakat internasional akan
rapuhnya sistem kapitalisme yang dianut Negeri Paman Sam. Sistem ini
terbukti, pada akhirnya hanya membuat mereka yang menganutnya menjadi
sengsara dan menderita .(Washington Post)
Sementara itu, menurut
Krugman, peraih Nobel Ekonomi 2008, ekonomi dunia akan mengalami
resesi dalam kurun waktu yang lama. Dia mengakui bahwa krisis ini memang
menakutkan, Pernyataan senada diungkapkan Investor dunia, George Soros.
Dia menilai krisis yang menerjang pasar finansial saat ini sangat
serius. Krisis ini, menurutnya, lebih hebat dibanding krisis finansial
lainnya sejak berakhirnya Perang Dunia kedua,. Soros menegaskan yang
terancam resesi bukan hanya perekonomian Amerika Serikat saja, tapi juga
Eropa.
Sebagai negara adi daya dengan gross domestic bruto (GDP)
terbesar di dunia, Amerka Serikat seharusnya mempunyai tanggung jawab
yang lebih besar dalam menjaga kestabilan dan kesehatan sistem dan pasar
keuangan di negaranya, karena akan berdampak besar bagi negara-negara
lain. Tetapi justru Amerika Serikat yang tersungkur jatuh ke jurang
krisis keuangan yang sangat dalam. Dalam sistem ekonomi konvensional
kapitalisme yang anutnya, dihalalkan kegiatan bisnis derivatif dan
spekulatif di pasar uang dan pasar modal. Praktek bunga, maysir dan
gharar menjadi kebiasaan.
Menurut perspektif ekonomi syariah,
penyebab utama krisis yang terjadi saat ini adalah (satanic trinity),
yaitu trinitas setan yang terdiri dari riba,
maysir dan gharar. Sistem dan pasar keuangan dan capital market di
Amerika telah didominir oleh setan tiga serangkai atau trinitas setan
(satanic trinity) yang terdiri dari (1) bunga (riba)
dalam transaksi keuangan; Praktek riba terlihat jelas pada bisnis
derivatif yang sangat laris di pasar uang dan pasar modal AS. (2) Produk
derivatif yang tak jelas underline transactionnya itu disebut juga
dengan gharar, karena ketidak jelasan produk riilnya. Produk gharar ini
disamarkan dengan istilah produk hybrids dan derivatives yang
dibungkus dan dikemas dengan mekanisme securitisation insurance atau
guarantee; (3) Peri laku dan praktek spekulatif atau untung-untungan
(maisir) yang juga tanpa dilandasi transaksi riil. .
Sebenarnya,
krisis keuangan global dapat dibedakan kepada dua macam krisis, Pertama
krisis di pasar modal (capital market) dan kedua krisis di pasar uang
(money market). Kedua bentuk financial market itu membuka peluang kepada
transaksi dengan tingkat spekulasi yang tinggi. Keduanya menggunakan
bunga sebagai instrumen. Keduanya juga memisahkan sektor moneter dan
sektor riel sebagaimana diajarkan sistem ekonomi kapitalisme.
Di
capital market konvensional, sangat dimungkinkan terjadinya short
selling dan margin trading . Kegiatan bisnis tersebut sangat sarat
dengan motif spekulasi. Sementara di pasar uang terdapat dua kesalahan
besar yang berakibat kepada krisis, pertama, kegiatan transaksi valas
yang bermotif spekulasi, baik spot maupun bukan, seperti forward,
options dan swaps transaction. Kedua bahwa yang menjadi standar keuangan
international adalah fiat money.
Islam yang berdasarkan wahyu yang
diturunkan Allah dari langit tentu memiliki ajaran yang unggul, rasional
dan ilmiah dan empiris. Menurut ekonomi Islam, sektor moneter dan
sektor riil tidak boleh terpisah, sedangkan dalam sistem ekonomi
kapitalisme keduanya terpisah secara diametral. Akibat keterpisahan itu,
maka arus uang (moneter) berkembang dengan cepat sekali, sementara arus
barang di sektor riil semakin jauh tertinggal. Sektor moneter dan
sektor riil menjadi sangat tidak seimbang.
Pakar manajamen tingkat
dunia, Peter Drucker, menyebut gejala ketidakseimbangan antara arus
moneter dan arus barang/jasa sebagai adanya decopling, yakni fenomena
keterputusan antara maraknya arus uang (moneter) dengan arus barang dan
jasa.
Fenomena ketidakseimbangan itu dipicu oleh maraknya bisnis
spekulasi pada kedua pasar keuangan di atas, yaitu di pasar modal dan
pasar valas (money market) sehingga ekonomi dunia terjangkit penyakit
yang bernama balon economy (bubble economy). Disebut ekonomi balon,
karena secara lahir tampak besar, tetapi ternyata tidak berisi apa-apa
kecuali udara. Ketika ditusuk, ternyata ia kosong. Jadi, bublle economy
adalah sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya,
namun tak diimbangi oleh sektor riel, bahkan sektor riel tersebut amat
jauh ketinggalan perkembangannya.
Sekedar ilustrasi dari fenomena
decoupling tersebut, misalnya sebelum krisis moneter Asia, dalam satu
hari, dana yang gentayangan dalam transaksi maya di pasar modal dan
pasar uang dunia, diperkirakan rata-rata beredar sekitar 2-3 triliun
dolar AS atau dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS.
Padahal
arus perdagangan barang secara international dalam satu tahunnya hanya
berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat
dibandingkan dengan arus barang (Republika, 18-8-2000).
Dalam
tulisan Agustianto di sebuah seminar Nasional tahun 2007 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, disebutkan bahwa volume transaksi yang terjadi di
pasar uang (currency speculation and derivative market) dunia berjumlah
US$ 1,5 trillion hanya dalam sehari, sedangkan volume transaksi pada
perdagangan dunia di sektor riil hanya US$ 6 trillion setiap tahunnya
(Rasio 500 : 6 ), Jadi sekitar 1-an %. Celakanya lagi, hanya 45 persen
dari transaksi di pasar, yang spot, selebihnya adalah forward,
futures,dan options. Sementara itu menurut Kompas September 2007, uang
yang beredar dalam ransaksi valas sudah mencapai 1,3 triliun dalam
setahun. Data ini menunjukkan bahwa perkembangan cepat sektor keuangan
semakin melejit meningalkan sektor riel. Dengan demikian balonnya
semakin besar dan semakin rawan mengalami letupan. Ketika balon itu
meletus, maka terjadilah krisis seperti yang sering kita saksikan di
muka bumi ini.
Gejala decoupling, sebagaimana digambarkan di atas,
disebabkan, karena fungsi uang bukan lagi sekedar menjadi alat tukar dan
penyimpanan kekayaan, tetapi telah menjadi komoditas yang
diperjualbelikan dan sangat menguntungkan bagi mereka yang memperoleh
gain. Meskipun bisa berlaku mengalami kerugian milyaran dollar AS.
Berdasarkan realitas itulah, maka Konferensi Tahunan Association of
Muslim Scientist di Chicago, Oktober 1998 yang membahas masalah krisis
ekonomi Asia dalam perspektif ekonomi Islam, menyepakati bahwa akar
persoalan krisis adalah perkembangan sektor finansial yang berjalan
sendiri, tanpa terkait dengan sektor riel.
Kegiatan bisnis yang
memisahkan sektor moneter dan riil, tidak lain adalah praktek riba.
Istilah kontemporer menyebutnya derivatif. Dalam transaksi derivatif
saat ini, sesungguhnya telah menyatu tiga serangkai riba, maysir dan
gharar. Sistem bisnis derivatif dalam pandangan Islam, merupakan sebuah
kejahatan besar, sehinga pelakunya abadi di neraka (2:275), karena
dosanya tak termaafkan. Dampaknya bisa menghangcurkan ekonomi banyak
negara sebagai mana yang kita rasakan dan saksikan saat ini. Jika sebuah
negara terjun ke jurang krisis, maka ratusan juta bisa menderita,
Bayangkan jika 10, 20 atau 30 negara diterpa krisis, berapa milyard umat
manusia yang menjadi sengsara dan makin miskin akibat sistem yang
salah, sistem yang menghalalkan riba, maysir dan gharar. Oleh karena
jahatnya transaksi derivatif, maka George Soros menyebutnya sebagai
hydrogen bombs, sementara Warren Buffett menjulukinya sebagai financial
weapons of mass destruction
Transkasi derivatif telah menjelma
menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak dan menciptakan
mega-catastrophic yang dapat meluluhlantakkan sistem finansial global.
Hal ini disebabkan ekspansi derivatif telah menciptakan bubble yang
sangat besar dalam ekonomi dunia.
Para ekonom dan pakar keuangan
telah mengidentifikasi dan berkonklusi bahwa transaksi derivatif menjadi
punca dan penyebab utama semua bencana ekonomi besar yang terjadi sejak
tahun 1929 di Amerika Serikat. Sistem riba, maysir dan gharar
(derivative) jugalah yang berada di belakang crash pasar saham Wall
Street tahun 2001 yang dikenal sebagai Black Monday, juga krisis
keuangan dan perbankan di tahun 1987
Bisnis derivative ini jugalah
menjadi penyebab terjadinya krisis finansial Asia 1997/1998; penyebab
kolapsnya hedge fund raksasa Long Term Capital Management (LTCM) tahun
1998; ambruknya bank dagang tertua Inggris, Barrings Bank; kolapsnya
Enron; pemicu krisis ekonomi Argentina; serta menjadi pemantik krisis
keuangan dan ekonomi global saat ini. Hal ini terjadi karena, menurut
Kavaljit Singh (2000), transaksi derivatif yang awalnya digunakan untuk
mengurangi risiko (hedging) akibat pergerakan harga tidak lagi wujud,
malahan menjadi instrumen spekulasi.
Upaya saat ini yang banyak
dibahas untuk mengurangi dampak buruk derivatif adalah membuat regulasi
dan supervisi yang sophisticated (Bisnis, 20 Maret). Namun, Menurut Aziz
Setiawan, pakar ekonomi Islam Paramadina, ketika regulasi tidak
menyentuh pembatasan kemampuan bermutasi dan bermetamorfosis derivatif,
ancaman krisis sistemik akan selalu ada. Metamorfosis dan mutasi
derivatif berkembang ketika terjadi pemisahan risiko dari aktivitas
ekonomi riil, sehingga risiko bertransformasi menjadi “komoditas” dan
membuatnya dapat ditransaksikan secara terpisah.
Komoditisasi risiko
membuat risiko menjadi semakin berbiak. Ketika risiko terpisah dari
sektor riil, tidak ada batasan jenis risiko yang bisa ditransaksikan,
mulai dari saham, obligasi, komoditas, indeks, valuta, rating
perusahaan, penyelesaian takeover, cuaca serta risiko lainnya. Lebih
jauh lagi bahkan, derivatif dapat diturunkan dari derivatif lainnya,
sehingga lahirlah options on futures, futures on options, options on
options, dan lain-lain.
Hal ini, membuat volume dan pertumbuhan
derivatif terpisah dari sektor riil. Karena sektor riil jauh lebih
kompleks dan dihadapkan pada berbagai kendala, maka pertumbuhan pasar
derivatif jauh lebih cepat dari barang dan jasa riil. Maka tak
mengherankan bila volume derivatif telah berbiak lebih sepuluh kali
lipat dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) seluruh dunia yang
hanya US$60 triliun.
Berdasarkan data Bank for International
Settlements (BIS), volume transaksi derivatif dalam 6 tahun terakhir
telah membengkak lebih dari enam kali lipat; dari sekitar US$100 triliun
menjadi US$683 triliun tahun 2008. Akhirnya regulasi tanpa menyentuh
aspek pembatasan kemampuan bermutasi dan bermetamorfosis derivatif,
tidak akan terlalu membantu meredam daya ledak bom waktu ini.
Dalam
sebuah seminar di STAN Jakarta, di mana saya dan Aviliani ketika itu
sebagai pembicara, beliau mengatakan, bahwa perbandingan transaksi
sector riil dan sector keuangan telah membengkak secara spektakuler,
yakni 1 banding 3000. Ini Artinya, jika transaksi bisnis riil hanya 1
triliun US dolar seathaun, maka transaksi derivative di sector keuangan
3000 kali lipatnya, yakni sebanyak 3000 triliun US dollar dalam setahun.
Percepatan ini terjadi dalam 6 tahun belakangan ini.
No comments:
Post a Comment